Pejuang

Pagi tadi secara tak terencana alias dadakan, aku menghadiri sebuah kuliah tamu yang diisi oleh Jacob JK. Simkin. Seorang pria berdarah Australia-Malaysia. Bukan muallaf, melainkan muslim sejak lahir. Kini beliau sedang menjalani studi di Middle East Institute, Oman. Namun bertempat tinggal di Turki. 
Kuliah tamu dibuka oleh salah satu dosen Ilmu Politik UIN Ar-raniry
Jacob aktif sebagai jurnalis yang fokus pada kajian konflik di berbagai belahan dunia. Selama perjalanannya sebagai jurnalis ia pernah beberapa hari meliput konflik yang terjadi di Syria. Menurutnya, selama sana nuraninya tak sanggup melihat penderitaan warga setempat, namun apa daya ia tak mampu melakukan apa-apa selain menyebarkan gambar-gambar hasil jepretannya ke media guna membuka mata dunia. 

Pernah suatu ketika, ia dan warga setempat
terkepung oleh pasukan pro-pemerintah Bashar Al-assad yang mengharuskan mereka bersembunyi di sebuah bangunan hingga 5 hari lamanya. Dalam beberapa hari tersebut ia hanya dibekali dengan segenggaman buah kurma dan setengah liter air mineral, serta sepucuk senjata yang diberikan oleh seorang mujahid untuk jaga-jaga. Ia mengaku sama sekali tidak menggunakan senjata tersebut guna menghemat tenaga, pun saat itu tidak ada serangan yang perlu tuk dilawan. 

Disaat jalan keluar sudah ditemukan, ia bergegas. Kala itu keadaan fisiknya cukup lemah, namun situasi penyerangan yang membabi buta mau tak mau menggerakkannya dengan sisa tenaga yang ada, sampai akhirnya ia berhasil terlepas dari kepungan. 

Salah satu kisah yang menarik lainnya, di sana beliau sempat berjumpa dengan dua pemuda asal Lhokseumawe  dengan nama samaran Abu Waled & Abu Muhib(Kalau ga salah). Kedua pemuda tersebut merupakan mahasiswa di salah satu perguruan tinggi di selatan Turki. Beliau menceritakan perjalanan kedua pemuda itu, pada masa awal tibanya, mereka tidak banyak melakukan kegiatan selain duduk di depan laptop guna mencari sebanyak mungkin informasi terkait konflik di Syria. Sampai akhirnya memantapkan keyakinan untuk bergabung dengan para mujahidin. 

Bagaimanapun, mereka sempat mengungkapkan rindunya dengan menyebut beberapa makanan khas Aceh. Bak buah simalakama, mereka rindu pulang namun bimbang. Kalau kembali ke Turki beresiko tertangkap nyawapun terancam dan apabila hendak ke tanah air tentu akan berhadapan dengan sekelumit masalah. Sehingga saat ini mereka memutuskan untuk terus berjuang di sana.

Jacob juga sempat menanggapi salah satu pertanyaan "Mengapa para korban konflik di Syria lebih memilih mencari suaka ke negara eropa ketimbang negara islam di timur tengah?". 

Beliau menyampaikan bahwa hal tersebut terkait dengan keberlangsungan hidup, mereka mebutuhkan uang untuk keperluan sehari-hari. Di Eropa tidaklah mudah untuk mendapat pekerjaan, tetapi bayarannya jauh lebih tinggi ketimbang negara-negara di timur tengah. Kendati demikian, kebanyakan warga Syria yang ber-imigrasi ke negara eropa ialah mereka yang sebelumnya memiliki pekerjaan tetap di negaranya seperti: dokter, insinyur, dll. Pun para pekerja dari Syria dikenal memiliki skill menengah ke atas yang tentunya menjadi modal besar untuk mendapat pekerjaan yang layak.
Sesi foto bersama Jacob 
Kini beliau tertarik mengkaji tentang gerakan Abu Sayyaf khususnya terkait asbab mereka yang menargetkan wilayah-wilayah tertentu  seperti Aceh & Pattani(Thailand Selatan) untuk mengembangkan sistem khilafah.


Previous
Next Post »